http://bahaya-syirik.blogspot.com
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما الأشعرية فعكس هؤلاء وقولهم يستلزم التعطيل، وأنه لا داخل العالم ولا خارجه، وكلامه معنى واحد، ومعنى آية الكرسي وآية الدين، والتوراة، والإنجيل واحد، وهذا معلوم الفساد بالضرورة
Al-Asy’ariyah adalah pertentangan dengan (golongan) hululiyah (golongan yang berpendapat bahawa Allah menyatu dengan makhluk). Pendapat mereka ini menimbulkan kesan/akibat ta’thil dan (menzahirkan keyakinan) bahawa Allah tidak berada di alam semesta ini atau pun luarnya. Juga (membawa maksud) bahawa perkataan-perkataan Allah semuanya adalah satu. Sehingga makna ayat al-Kursi, ayat agama, taurat, injil adalah sama. Ini telah jelas merupakan suatu bentuk fahaman yang buruk dan batil.
Rujuk: Majmu’ al-Fatawa, 6/310.
إنَّ الْبِدَعَ مُشْتَقَّةٌ مِنْ الْكُفْرِ وَآيِلَةٌ إلَيْهِ
Sesungguhnya Bid’ah-bid’ah itu diambil daripada kufur dan akan kembali kepadanya.
إنَّ الْمُعْتَزِلَةَ مَخَانِيثُ الْفَلَاسِفَةِ ؛ وَالْأَشْعَرِيَّةُ مَخَانِيثُ الْمُعْتَزِلَةِ
Sesungguhnya al-Mu’tazilah adalah pondan/banshi Falsafah dan al-Asy’ariyah pula adalah pondan Muktazilah.
وَكَانَ يَحْيَى بْنُ عَمَّارٍ يَقُولُ : الْمُعْتَزِلَةُ الْجَهْمِيَّة الذُّكُورُ وَالْأَشْعَرِيَّةُ الْجَهْمِيَّة الْإِنَاثُ
Mu’tazilah adalah Jahmiyyah Jantan manakala al-Asy’ariyah adalah Jahmiah Betina.
وَمُرَادُهُمْ الْأَشْعَرِيَّةُ الَّذِينَ يَنْفُونَ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةَ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مِنْهُمْ بِكِتَابِ " الْإِبَانَةِ " الَّذِي صَنَّفَهُ الْأَشْعَرِيُّ فِي آخِرِ عُمْرِهِ وَلَمْ يُظْهِرْ مَقَالَةً تُنَاقِضُ ذَلِكَ فَهَذَا يُعَدُّ مِنْ أَهْلِ السُّنَّة
Mereka adalah golongan al-Asy’ariyah (pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari) yang menolak sifat-sifat Khabariyyah Allah. Namun, sebahagian dari mereka yang perkataannya bertepatan dengan kitab al-Ibanah yang ditulis oleh (Imam Abu al-Hasan) al-Asy’ari di akhir-akhir umurnya, maka mereka adalah termasuk Ahlus Sunnah.
لَكِنَّ مُجَرَّدَ الِانْتِسَابِ إلَى الْأَشْعَرِيِّ بِدْعَةٌ لَا سِيَّمَا وَأَنَّهُ بِذَلِكَ يُوهِمُ حُسْنًا بِكُلِّ مَنْ انْتَسَبَ هَذِهِ النِّسْبَةَ وَيَنْفَتِحُ بِذَلِكَ أَبْوَابُ شَرٍّ
Tetapi, dengan semata-mata bernisbah kepada al-Asy’ari adalah bid’ah, lebih-lebih lagi dengan melakukannya membawa sangkaan baik dengan semua orang yang bernisbah kepadanya dan membuka pinta kejahatan.
Rujuk: Majmu’ al-Fatawa, 6/359-360.
1 comment:
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kam i telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirm an : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita ?
Berkata Im am Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
Post a Comment