__________________________________________________________________________________

| Nawawi | Aqeedah | Fiqh | Anti Syirik | Galeri Buku | Galeri MP3 | U-VideOo |
__________________________________________________________________________________

Monday, July 2, 2007

ISU 13 - Hukum Perbuatan Demonstrasi (Tunjuk Perasaan) Menurut Ahlus Sunnah

Menyingkapi Perlakuan Demonstrasi Dari Kaca Mata Ahlus Sunnah

Download kuliah – “Menggugat Perlakuan Demonstrasi

DEMONSTRASI

Tunjuk perasaan atau demonstrasi adalah perbuatan yang bertentangan dengan syariat Allah Azza wa-Jalla. Ia pada hakikatnya telah dipelopori oleh individu-individu yang mempunyai tujuan dan matlamat tertentu. Timbulnya semangat dan bahang untuk berdemontrasi kerana ada pencetus yang menghasut.

Walaupun demonstrasi dianggap sebagai ungkapan hati nurani rakyat yang terjadi di semua negara termasuk negara Islam, namun ia tidak dapat diterima oleh hati nurani yang sihat dan beriman. Kerana pada kebiasaanya demonstrasi didalangi oleh pihak-pihak tertentu sebagai satu cara untuk mencapai rancangan atau konspirasi mereka.

Demonstrasi hanya dipertahankan dan didukung mati-matian sehingga dianggap sebagai jihad oleh mereka yang jahil terhadap syariat dan agamanya.

Para a’immah as-salaf as-Soleh (para imam/ulama kurun terawal) telah mengharamkan perbuatan demonstrasi yang terkutuk ini, kerana ia menganggu ketentaraman awam malah mencemarkan nama dan dakwah Islam yang sewajarnya dijalankan dengan hikmah. Oleh itu, demonstrasi adalah merupakan suatu bid’ah yang sesat yang wajib dijauhi oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan kesucian agama Islam.

DEMONSTRASI PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM

Setelah timbulnya pemikiran dan firqah Khawarij sehingga terjadinya pemberontakan serta kejadian terbunuhnya Uthman bin ‘Affan radiallahu ‘anhu, ia sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Uthman radhiyallahu ‘anhu, ia dirancang oleh golongan Khawarij, dengannya bermula tersebarnya isu-isu fitnah yang dilontarkan kepada Khalifah Uthman yang ditaja dan disebarkan di kalangan kaum muslimin oleh seorang pendita Yahudi bernama Abdullah bin Saba’.

Abdullah bin Saba’ berpura-pura masuk Islam (secara nifak) untuk menipu dan memerangkap umat Islam dalam segala bentuk fitnah. Sememangnya Yahudi amat memusuhi agama Islam dan kaum muslimin. Sikap Yahudi telah dikhabarkan oleh Allah Azza wa-Jalla melalui firmanNya:

لَتَجِدَنَّ اَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا الْيَهُوْدُ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا.

“Nescaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Surah al-Maidah, 5: 82)

Permusuhan kaum Yahudi bermula sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati perjanjian mereka terhadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam, merendahkan kaum muslimin, mencerca ajaran Islam dan banyak lagi makar-makar (tipu helah) busuk mereka. Namun setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat: Sirah Ibnu Hisyam, juz 3. Hal. 191-199)

Pada zaman Abu Bakar dan Umar radiyallahu ‘anhuma, suara orang-orang Yahudi hampir hilang, bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai merealisasikan perintah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa-salam yang pernah bersabda:

لاُخْرِجَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ حَتَّى لاَ اَدَعَ فِيْهَا اِلاَّ مُسْلِمًا.

“Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasara dari Jazirah Arab sehingga aku tidak sisakan (tinggalkan) padanya kecuali orang muslim. Juga sabda baginda: “keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab!”. (H/R. Bukhari)

Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Uthman radiyallahu ‘anhu, di waktu kondisi masyarakat mulai heterogen (kemasukan berbagai bangsa), banyak mualaf dan orang awam yang masih belum mendalam keimanan dan ilmunya, maka orang-orang Yahudi mula mengambil kesempatan untuk menyebarkan fitnah. Mereka berpenampilan sebagai muslim (tetapi secara nifak), antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang diberi julukan Ibnu Sauda.

Abdullah bin Saba’ berasal dari Shan’a. Dialah yang menaburkan benih-benih fitnah di kalangan kaum muslimin agar mereka iri hati dan benci kepada Uthman radiyallahu ‘anhu. Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran peribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah kiasnya yang batil tentang kewalian Ali radiyallahu ‘anhu. Dia berkata:

“Sesungguhnya telah ada seribu nabi dan setiap nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali adalah walinya Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian dia berkata dan terus menabur fitnah:

“Muhammad adalah penutup para nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”

Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan utamanya iaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Uthman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhu. Maka dia melemparkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya:

“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang tidak layak mendapatkan wasiat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam (kewalian rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (iaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!”

Setelah itu dia (Abdullah bin Saba’) terus mengeluarkan pembohongan (fitnah):

“Sesungguhnya Uthman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kamu). Maka bangkitlah kamu dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pegawai kamu, nampakkan amar makruf nahi mungkar. Nescaya manusia serentak bangun dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Lihat: Tarikh ar-Rasul juz. 4 hal. 340 ath-Thabari melalui Mawaqif..)

Amar makruf nahi mungkar ala Sabaiyah ini sama modelnya dengan amar makruf menurut Khawarij, iaitu keluar dari pemerintahan kemudian memberontak, memperingatkan kesalahan pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum awam dan demonstrasi-demonstrasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah. Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar makruf nahi mungkar ala Sabaiyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Uthman bin ‘Affan radiyallahu ‘anhu. Peperangan sesama kaum muslimin dan terbukanya pintu fitnah berterusan dari zaman Khalifah Uthman sampai kezaman kekhalifahan Ali bin Abi Talib radiyallahu ‘anhu. (Lihat: Tahqiq Mawaqif ash-Syahabati fil Fitnati min Riwayat al-Imam ath-Thabari wal Muhaddisin juz 2 hal 342)

Sebenarnya amar makruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan perisai belaka tiada keikhlasan padanya. Buktinya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda kepada Uthman:

“Hai Uthman! Nanti sepeninggalanku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam (di riwayat lain): Orang-orang munafiq ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. (Beliau mengucapkannya tiga kali).” (H/R. Ahmad dalam Musnad juz 6 hal 75. at-Tirmizi di dalam Sunan-nya dan disahihkan oleh Syeikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Turmizi)

Syeikh Muhammad Amhazurn berkomentar: “Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahawa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran, akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi di balik tabir syiar perdamaian dan amar makruf nahi mungkar. Tidak diketahui di satu zaman pun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum muslimin daripada orang-orang munafiq.”

Inilah hakikat amar makruf nahi mungkar kaum Sabaiyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang!

Di zaman ini ternyata ada Khawarij gaya baru, iaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, tunjuk perasaan dan sebagai alat dan metod dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdul Rahman Abdul Khaliq (seorang pendukung gerakan Ikhwanul Muslimin), pengikut dan yang sefahaman dengannya yang mengatakan (dalam al-Fusul minas Siyasah asy-Syariyah): “Termasuklah metod atau cara Nabi salallahu ‘alaihi wa-sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau tunjuk perasaan.”

Sebelum membongkar kebatilan ucapan Abdul Rahman Abdul Khaliq ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar makruf nahi mungkar kepada pemerintah, marilah kita pelajari dan fahami manhaj Salaf as Soleh dalam perkara ini.

Manhaj Salaf as-Soleh (Golongan Soleh Kurun Terawal) Beramar Makruf Nahi Mungkar Kepada Pemerintah

Allah adalah Tuhan yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya dia akan menjadikan bagi rakyat yang derhaka seorang pemimpin yang zalim. Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang zalim, sesungguhnya kezaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan/penentangan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan ia kufur dan terkeluar dari Islam, maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat. Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilemparkan di tempat-tempat umum (khalayak ramai), apatah lagi mengkhabarkan dan membuka aib pemerintah, yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.

Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadis Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:

“Barangsiapa yang ingin menasihati pemerintah dengan suatu perkara; Maka janganlah ia paparkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa dengan empat mata. Jika ia menerima, maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh dia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad al-Khaitysami dalam al-Majma’, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah. Hadis ini banyak yang meriwayatkannya sehingga kedudukannya sahih bukan hasan, apalagi dhaif sebagaimana sebahagian ulama menyatakannya. Demikian keterangan Syeikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim. (Lihat: Muamalatul Hukam fi Dhauil Kitab was-Sunnah, hlm. 54)

Dan Syeikh al-Albani mensahihkannya dalam Dilalul Jannah fi Takhriji Sunnah. Hadis ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini, maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungan jawaban. Demikian dijelaskan oleh Syeikh Abdus Salam bin Barjas.

Bertolak dari hadis yang agung ini, para ulama salaf berkata dan bertindak sesuai dengan kandungan hadis ini. Antara mereka adalah Imam asy-Syaukani rahimahullah yang berkata:

“Bagi orang-orang yang ingin menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah (lantaran pemimpin itu telah berbuat salah), seharusnya ia tidak mengeluarkan kata-kata yang buruk di hadapan khalayak ramai. Tetapi sebagaimana dalam hadis di atas, bahawa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya, kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa Allah”.

Kami telah menyebutkan pada awal kitab as-Sir:

“Bahawasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kezalimannya sehingga puncak kezaliman apapun, selama mereka menegakkan solat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka”.

Hadis-hadis dalam masalah ini mutawatir, akan tetapi wajib atas rakyat mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Kerana sesungguhnya menurut hadis sahih:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (as-Sailul Jarar)

Imam at-Tirmizi membawakan sanadnya sampai kepada Ziyad bin Kusaib al-Adawi. Beliau berkata:

“Aku di samping Abu Bakrah, berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir sedang berkhutbah dengan mengenakan pakaian nipis. Maka Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik. Lantas Abu Bakrah berkata: Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.” (Sunnan at-Turmizi No. 2224)

Syeikh Muhammad bin Soleh al-Uthaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah sampai pada perkataannya:

“…Sesungguhnya sesiapa yang menentang pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, tempat-tempat kajian (tempat berucap/kuliah) dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh kerana itu, jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya, walaupun timbul dari niat yang baik. Hal ini menyalahi cara Salaf as-Soleh yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam. Hlm. 395).

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahawasanya beliau ditanya: “Mengapa engkau tidak menghadap Uthman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau:

“Apakah kamu berpendapat semua nasihatku kepadanya itu harus diperdengarkan kepada kamu? Demi Allah! Sesungguhnya aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini." (H/R. Bukhari)

Syeikh al-Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya:

“Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya - pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Kerana pengingkaran terang-terangan boleh berakibat yang sangat membimbangkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Uthman mengakibatkan kematian beliau.”

Demikian metod atau manhaj Salaf as-Soleh dalam amar makruf nahi mungkar kepada pemerintah atau yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahawa demonstrasi termasuk suatu cara untuk berdakwah, sebagaimana yang diangap oleh Abdul Rahman Abdul Khaliq dan yang sefahaman dengannya.

Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab kejinya sifat orang-orang khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said Bin Jahman radiyallahu ‘anhu beliau berkata:

“Aku datang kepada Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, aku mengucapkan salam. Beliau bertanya kepadaku: Siapa engkau? Said bin Jahman, jawabku. Beliau bertanya: Kenapa ayahmu? Aku katakan: Al-Azariqah telah membunuhnya. Beliau berkata: Semoga Allah melaknat al-Azariqah, semoga Allah melaknat al-Azariqah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahawa mereka anjing-anjing neraka. Aku bertanya: (Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) al-Azariqah sahaja atau Khawarij semuanya? Aku katakan: Beliau menjawab: Ya! Khawarij semuanya. Aku katakan: Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kezaliman kepada rakyatnya? Maka beliau mengambil tanganku dan memegang dengan sangat kuat, kemudian berkata: Celaka engkau wahai Ibnu Jahman! Wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika kau ingin pemerintah mahu mendengar nasihatmu, maka datangilah dan khabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (H/R. Ahmad)

Dan masih banyak lagi hadis-hadis mengenai celaan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka, kerana perbuatan mereka sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Oleh kerana itu, bagi seorang muslim yang masih mempunyai akal yang sihat, tidak mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah sallallahua ‘alaihi wa sallam (sebagai anjing neraka) terhadap Khawarij. Maka wajib bagi kita apabila hendak menasihati pemerintah, hendaklah dengan metod salaf yang jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan perpecahan antara rakyat (sebagaimana akibat mengadakan demonstrasi) dengan pihak pemerintah yang akhirnya akan membawa kepada kerugian dikedua-dua belah pihak.

Berdemonstrasi Menyerupai Orang-Orang Kafir

Adalah sangat dikesalkan di mana para pen-demonstrasi ini adalah dari aktivis-aktivis Islam. Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri-ciri Islam mereka? Atas dasar apa mereka melakukannya? Apakah berdasarkan syubhat (kekaburan/kecelaruan pemahaman)? Atau mereka (penunjuk perasaan) yang beragama Islam tidak sedar bahawa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam junjungan mereka, kerana perbuatan tersebut menyerupai orang-orang kafir. Baginda sallallahu ‘alaihi wa-sallam mengkhabarkan:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka mereka termasuk kaum tersebut.”

Perbuatan demonstrasi ini adalah termasuk bentuk tasyabbuh terhadap orang kafir. Telah diterangkan oleh Syeikh al-Albani rahimahullah tatkala seorang bertanya kepada beliau yang pertanyaannya berbunyi demikian:

“Apa hukumnya demonstrasi/tunjuk perasaan, misalnya para remaja lelaki ataupun perempuan keluar ke jalan-jalan? Beliau bertanya: Para perempuan juga? Penanya menjawab: Benar! Sungguh ini benar telah terjadi. Syeikh berkata: Masya Allah. Penanya berkata: Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebahagian permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap taghut-taghut atau apa yang mereka tuntut dari parti-parti politik yang bertentangan dengan mereka. Apa hukumnya perbuatan ini? Syeikh menjawab: Aku katakan –wabillahi taufiq- jawaban dari soalan ini termasuk pada kaedah dalam sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam yang dikeluarkan oleh Abu Daud di dalam Sunnannya. Rasulullah sallallahu ‘alaih wa sallam bersabda:

“Aku diutus dengan pedang diketika hampirnya Hari Kiamat sehinggalah hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menentang pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”

Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau sallallahu ‘alaihi wa-sallam ini adalah perkataan:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”

Maka tasyabbuh (penyerupaan) seorang muslim kepada seorang kafir tidak pernah dibolehkan dalam Islam. Tasyabbuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara terperinci oleh Syeikhul Islam (Ibn Taimiyah rahimahullah) di dalam kitabnya yang agung, Iqtida’ Siratal Mustaqim, Mukha lafata Ashabil Jahim secara terperinci dan tidak didapati selain dari beliau rahimahullah. Dalam perkara ini perlu juga diperingatkan bahawa sewajarnya talibul ilmi (pencinta ilmu) memperhatikannya agar tidak menyangka bahawa hanya tasyabbuh saja yang dilarang oleh syariat.

Ada perkara lain yang lebih tersamar iaitu perintah untuk tidak menyerupai orang-orang kafir. Tasyabbuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud tidak menyerupai (meniru) mereka pada apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan yang amali, maka ini adalah ketetapan amali yang tidak berbeza antara muslim dengan kafir kerana sesungguhnya pada ketetapan ini tidak ada usaha dan kehendak dari makhluk. Kerana yang demikian adalah sunnahtullah Tabaraka wa Ta’ala kepada manusia dan tidak akan didapati sunnahtullah itu berubah. Sebagaimana telah sahih dari sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam:

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak menyamir (mencelup) rambut-rambut mereka, maka selisihi mereka (2X).”

Sesungguhnya dalam hal ini seorang mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbezaannya. Kamu tidak akan menemukan seorang muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara muslim dan kafir yang sama-sama keduanya tidak boleh memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan tadi. Maka Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam memerintahkan untuk tidak menyerupai kaum musyrikin, iaitu dengan mencelup uban di rambut kita, iaitu sama saja rambut, janggut atau kepala. Untuk apa? Agar dengan celupan tersebut nampak perbezaan antara muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan, lalu seorang muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada penyelisih.

Dalam masalah ini, saya (Muhammad Nashiruddin al-Albani) memperingatkannya sebelum memasuki perbahasan dalam menerangkan jawapan yang ditujukan pada saya. Jika telah diketahui perbezaan di antara tasyabbuh dengan penyelisihan, maka seorang muslim yang benar ke-Islamannya hendaklah terus menerus berusaha menjauhi tasyabbuh dengan orang kafir. Sebaliknya harus berusaha menyelisihi mereka.

Dengan alasan inilah kami mensunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan, kerana mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakai di tangan kiri.

Kami mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: “Maka selisihilah mereka.” Kamu mengetahui hadis ini, “Bahawa Yahudi dan Nasara tidak mencelup rambut (uban) mereka, maka selisihilah mereka.” Sebagaimana yang diucapkan Syeikhul Islam dalam kitab tersebut (iktida).

Ucapan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam: “Maka selisihilah mereka” merupakan hujjah yang mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang dikehendaki oleh as-Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan direalisasikan dalam kehidupan seharian. Oleh kerana itu, kami mendapati praktik penyelisihan dalam amalan dan hukum-ahkam bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam atau, “Solatlah kamu di atas sandal-sandal kamu, Selisihilah Yahudi (2X).”

Maka dengan ini diketahui bahawa solat memakai sandal bukan fardhu. Berbeza dengan memanjangkan janggut, kerana orang yang mencukurnya akan mendapat dosa. Adapun solat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (Mustahab). Namun apabila seorang muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika solat, justeru telah menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.

Ada suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadhu’ Ibnu Mas’oud ketika beliau mempersilakan Abu Musa al-Asyari mengimani solat waktu itu. Pada hal kedudukan Ibnu Mas’oud lebih utama dari Abu Musa radyiallahu anhu. Pada waktu itu Abu Musa al-Asyari melepaskan sandalnya, dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu Mas’oud: “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau menganggap dirimu ada di lembah Tursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’oud ini menegaskan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam: “Solatlah di atas sandal kamu dan selisihilah Yahudi!”.

Apabila dua hakikat ini telah difahami, iaitu (larangan) tasyabbuh dan (perintah) menyelisihi kaum musyrikin, maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda:

“Sesungguhnya kamu benar-benar akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak nescaya kamu pun akan memasukinya.”

Berita dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam ini mengandungi peringatan bagi umat ini. Namun di samping itu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam juga mengatakan dalam hadis mutawatir.

“Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan al-haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”

Jadi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah memberikan khabar gembira dalam hadis sahih ini bahawasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita ini, iaitu: “Sungguh kamu akan mengikuti jalan-jalan sebelum kamu.” Maka apabila mencontohi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam di dalam merubah keadaan masyarakat, maka tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak melalui demonstrasi (tunjuk perasaan).

Islam mengajarkan ketenangan, antaranya dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sehingga membuahkan hasil yang benar, walaupun memerlukan tempoh waktu yang sangat panjang.

Dengan ini saya (Muhammad Nashiruddin al-Albani) katakan dengan ringkas, demostrasi atau tunjuk perasaan yang terjadi di sebahagian negara Islam pada hakikatnya adalah penyimpangan dari jalan kaum mukminin dan tasyabbuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang ertinya):

“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’ 4: 115)

Si penanya bertanya lagi: Mereka (para penunjuk perasaan) berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi), bahawasanya setelah Umar radhiallahu ‘anhu masuk Islam, kaum muslimin (serentak keluar). Umar pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi) mengatakan tunjuk perasaan ini untuk mengingkari taghut-taghut dan orang-orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawapan anda dengan dalil semacam ini?”

Syeikh menjawab: Jawapan terhadap pendalilan seperti itu adalah: Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal Sirah termasuk sunnah yang diikuti. Menurut ulama fekah, mereka mengatakan kalau sudah nyata dari Rasul sallallahu ‘alaihi wa-sallam sesuatu ibadah yang disyariatkan, maka akan diberi pahala orang yang melakukannya. Dan dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus menerus tanpa putus kerana dikhuatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.

Kebanyakan manusia (menurut adat mereka) kalau ada salah satu muslim meninggalkan sunnah seperti ini, nescaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli fekah. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam sirah di atas, kemudian dijadikan sunnah yang diikuti, bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara terus menerus, sedangkan kaum muslimin tidak secara mutlak melakukannya kecuali pada saat itu sahaja.

Kita mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-ahkam yang keluar dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan zalim dan melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum muslimin dalam hal ini? Rasul shallallahu ‘alaihi wa-sallam telah memerintahkan dalam hadis sahih wajibnya taat kepada pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam.

Inilah yang saya (al-Albani) khuatirkan tentang apa yang dinamakan “Kebangkitan (syahwah) suara kebenaran,” bagaimana kita akan meredhainya? Bagaimana mungkin suatu kebangkitan (syahwah) dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau buruk.

Tidak diragukan lagi di al-Jazair dan setiap negara Islam, syahwah ini lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan tetapi kamu akan melihat mereka berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidak-gigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah 'Azza wa Jalla.

Kita tidak memperpanjangkan pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap dalil demonstrasi ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqh Islam sebagaimana yang kami telah nyatakan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahawa kejadian ini tercatit dalam sirah.

Akan tetapi saya belum boleh mendapati sahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini sahih sanadnya dan ada salah seorang di antara kamu mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadis muktabar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya boleh memeriksa barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut sahih. Maka kalaupun sahih, hanya dilakukan sekali sahaja. Jika terjadi hanya sekali sahaja, tentu tidak boleh dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum muslimin meningalkannya (tidak menirunya).

Kejadian ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahawasanya ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepatutnya ditinggalkan, iaitu sunnah membaca surah Sajadah pada pagi hari Jumaat (waktu solat subuh). Ini terdapat dalam Sahihain (Bukhari dan Muslim).

Walaupun demikian ulama Hanafiah menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhuatirkan apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan mengangkat hukumnya keluar dari hukum asalnya, iaitu dari sunnah menjadi wajib.

Kami mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqh dan pemahaman terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahawasanya imam di masjid besar Damaskus iaitu masjid Bani Umaiyah, mengimami solat subuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surah Sajadah. Baru saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata: “Kenapa engkau tidak membaca surah Sajadah?” Kemudian ia menerangkan bahawa hal itu adalah sunnah, dan kadang-kadang dianjurkan untuk meninggalkannya.

Kejadian ini terjadi kerana imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus menerus dan berlangsung lama. Dan waktu itu ia tidak mengerjakan amalan tersebut.

Lebih aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari Damaskus, kira-kira 60km ke Madhya. Maka aku hampiri di pagi hari Jumaat untuk solat berjamaah bersama kaum muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak datang. Maka mereka mencari pengganti imam yang sesuai. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan janggut saya baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya mengambil alih.

Saya sebenarnya belum menghafal surah Sajadah dengan baik, maka saya membaca surah Maryam. Saya membaca dua halaman awal. Tatkala saya takbir untuk rukuk, maka saya merasakan semua makmum telah sujud. Ini menunjukkan kerana apa? Kerana adat kebiasaan (iaitu mereka sujud tilawah kerana kebiasaan dan bukan dengan ilmu).

Sayogianya para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebahagian hukum-ahkam. Lalu memberi penjelasan bahawa masalah syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat darjat hukum sunnah menjadi wajib dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah.

Semua ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawapan saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya. (Kaset Fatwa Jeddah no. 89980, pagi subuh, hari Ahad, 27 Jamadil Akhir 1410H).

Bantahan Terhadap Syubhat Abdul Rahman Abdul Khaliq

Di awal sudah saya sentuh masalah manhaj Abdul Rahman Abdul Khaliq terhadap pemerintahan muslimin. Iaitu bolehnya mengadakan demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radiyallahu ‘anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas.

Dan Syeikh al-Albani mengatakan bahawa beliau belum tahu sahih dan dhaifnya riwayat tersebut. Syeikh Abdul Aziz bin Baz telah membantah syubhat Abdul Rahman Abdul Khaliq. Kata Syeikh bin Baz: “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minas Siyasah as Syariyah hal. 31-32 bahawasanya termasuk dari uslub (metod) dakwah Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam adalah demonstrasi. Saya belum pernah mengetahui nas yang sharih (jelas) dalam masalah ini. Maka saya mengharap faedah dari siapa kamu mengambil dan dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya, maka kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Kerana saya tidak tahu sama sekali nas-nas yang menunjukkan hal itu.

Dengan menggunakan demonstrasi atau tunjuk perasaan justeru mengakibatkan banyak kerosakan. Jika nas (dalil) itu sahih, maka sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerosakan tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang batil.” (Tanbihat wa Ta’aqibat. Hlm. 41).

Jawapan Abdul Rahman Abdul Khaliq: Adapun ucapanku pada kitab al Fusul Minas Syiasah as Syariyah fi Dakwah Ilallah, maka saya katakan: Saya telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (perantaraan) Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dalam menampakkan dakwah Islam sebagaimana telah diriwayatkan bahawa setelah masuk Islamnya Umar radiyallahu ‘anhu kaum muslimin keluar kerana perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam pada dua saf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan. Dalam satu barisan terdapat Hamzah radhiyallahu ‘anhu manakala barisan yang lain ada Umar bin al-Khattab radiyallahu ‘anhu beserta kaum muslimin.”

Kemudian Abdul Rahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah dengan sanad sampai kepada Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu, Ibnu Abi Syaibah dalam as-Syabah dan di dalam tarikhnya serta al Bazar. Kemudian dia (Abdul Rahman) berkata: Tetapi setelah kedatangan surat anda (Syeikh Ibnu Baz) aku dapati bahawa jalur sanad hadis ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadis. Demikian pernyataan Abdul Rahman Abdul Khaliq (ini membuktikan bahawa Abdul Rahman Abdul Khaliq mengakui tentang kemungkaran hadis demonstrasi).

Tapi anehnya setelah itu ia mengatakan: Saya berpandangan metod ini (demonstrasi) boleh untuk dijadikan metod yang benar dalam mendorong/menganjurkan manusia dalam solat Jumaat dan berjamaah dalam rangka menampakkan banyaknya orang Islam. Demikian juga mempamerkan tentera-tentera Islam bersama dengan peralatan perang, kerana hal ini dapat menaklukkan hati-hati musuh dan menakutan musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.

Demikianlah cara ahlul bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan (dari syara') dan setelah ucpan atau perbuatannya diketahui tidak benar, bahkan palsu, mereka tidak mahu merujuk kepada dalil yang sahih dan manhaj yang benar. Bahkan dia berdalih: “Maksud saya demikian, maksud saya demikian.” Boleh sahaja hadis lemah dalam hal ini, bahkan hadis palsu dijadikan i’tibar dan berbagai silat lidah (putar belit) lainnya pun meluncur tajam dari mulutnya sebagai alasan.

Maka saya katakan: Setelah dalilnya diketahui mungkar, kerana adanya perawi yang mungkarul hadis pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak boleh dijadikan sebagai hujjah manhaj amar makruf nahi mungkar. Kerana metod/inti dakwah adalah tauqifiyah, iaitu harus sesuai dengan metod Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dan para sahabatnya.

Andainya kisah Umar itu sahih, maka penjelasan adalah sebagimana yang telah diterangkan oleh Syeikh al-Albani, bahawa setelah diketahui dalil mereka berdemonstrasi itu dhaif (lemah) bahkan mungkar, maka tidak boleh lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya berdemonstrasi, sekalipun niat dan tujuannya disangka sebagai baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syeikh bin Baz di atas. Wallahu a’lam.

Kemungkaran Demonstrasi (Tunjuk Perasaan)

Dalam tulisan di atas, sudah diterangkan sebahagian kemungkaran pada perbuatan demonstrasi (tunjuk perasaan), maka jika diringkaskan maka antara kemungkaran-kemungkarannya ialah:

(1). Ianya jelas berbentuk tasyabbuh, iaitu perbuatan tersebut menyerupai perbuatan orang-orang kafir.

(2). Termasuklah khuruj (keluar menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain.

(3). Menceritakan aib pemerintah di hadapan umum dalam bentuk pidato/ucapan yang inipun dilarang oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam.

(4). Ikhtilath (bercampur-baurnya) lelaki dan perempuan, bahkan berhimpit-himpitan.

(5). Tidak berasaskan undang-undang atau hukum syara', yang mana demonstrasi seringkali berlaku di dalamnya pidato/ucapan berbentuk hasutan dan fitnah.

Jalan Penyelesaian Dari Krisis

Pada situasi sekarang, masalah yang timbul bukan sahaja terjadi yang berpunca dari satu aspek, misalnya ekonomi, tetapi juga terjadi pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak boleh sembuh secara total jika dibasmi dengan kebatilan tunjuk perasaan.

Suatu negara yang dipimpin oleh pemimpin yang zalim yang di dalamnya ditaburi dengan perbuatan-perbuatan mungkar orang yang berkuasa seperti korupsi (rasuah) dan nepotisme merupakan hasil dari sikap dan tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, nescaya Allah Subhanahu wa-Ta’ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang baik, arif dan bijaksana. Hal ini sudah dilbuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad sallallahu ‘alahi wa-sallam dan para Khulafa ar-Rasyidin.

Adapun setiap situasi yang kacau bilau, maka jalan keluar dan penyelesaiannya bukanlah dengan demonstrasi, tetapi dengan amar makruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian menyebarkan ilmu yang hak di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syara yang hak. Dengan demikian akan musnahlah virus salah guna kuasa, korupsi dan virus-virus yang lainnya.

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan ang mengerjakan amal-amal yang sholeh bahawa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diredhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Surah an-Nuur, 24: 55)

Wallahu’alam.

17 comments:

Nasrullah said...

Inilah kalau hanya mengikut tanpa melihat kondisi dan tempat, bagaimana orang akan demon di Arab sana,atau juga di malaysia akan upah dan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan bagi pekerja kasar. Karena penjara ujungnya. Maka sabar-sabar sajalah. Ajarilah pemerintah dan pengusaha ajaran islam yang baik, karena demon hanya akan menunujukkan aibnya, begitukan. Majalah porno diijinkan diindonesia, tidak ada gunanya di demon karena hanya akan menunjukkan borok pejabat/pemerintah. Ajarkan saja keluarga dan orang banyak bahwa melihat barang porno itu tidak baik. Meski barang itu ada dipasar secara bebas. Begitukan??? maksudnya? Lain Arab lainlah pula Antartika. Baik di arab belum tentu baik di sini.

asrar said...

Salam wbt,

Saya quote sebahagian dari petikan di harakahdaily. Full artikelnya ada di link bawah.

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam perkembangan berkaitan, bekas Yang Dipertua Persatuan Ulamak Malaysia (PUM), Ustaz Abdul Ghani Shamsudin berkata, berhimpun dan mengadakan demonstrasi, menunjuk perasaan secara aman adalah salah suatu tindakan yang sah dari segi syara' dan undang-undang untuk menyatakan penentangan terhadap kemungkaran.

"Ia suatu pendekatan yang berkesan untuk menyerlahkan pengaruh dan kuasa kebenaran," katanya.

Dengan itu, katanya lagi, orang yang zalim akan kembali sedar menginsafi kesalahan diri mereka.

"Hukum asal berhimpun secara aman dan berdemonstrasi adalah harus .

"Tapi kalau dirujuk kepada ‘Maqasid al Syaria’ah’ ia mungkin menjadi ‘Mandub’ atau sunnah. Malah ia mungkin beralih kepada hukum wajib seandainya tidak ada cara lain untuk menegur dan membetulkan kemungkaran kecuali dengan cara keluar beramai-ramai berhimpun dan berdemonstrasi di padang terbuka atau di jalan raya," kata Abdul Ghani.

Beliau memetik pandangan Syaikh Abdul Rahman Abdul Khaliq yang menyatakan demonstrasi ada disebutkan sebagai salah satu cara yang diambil oleh Rasulullah s.a.w. untuk mengenengahkan kekuatan Islam dan sebagai salah satu cara dakwah.

"Ini berlandaskan hadith bahawa kaum muslimin keluar beramai-ramai setelah Omar mengisytiharkan dirinya menganut agama Islam berdasarkan arahan Rasul dengan dua barisan. Satu barisan diketuai oleh Hamzah r.a. dan satu lagi diketuai oleh Omar.

"Teriakan mereka terdengar bagaikan deru kisaran tepung sehinggalah mereka masuk dalam masjid. Pada pengamatan saya tindakan tersebut semata-mata kerana mahu menunjukkan kekuatan (suara kebenaran)," kata Abdul Rahman.


http://www.harakahdaily.net/bm/index.php/utama/kemerdekaan-negara-ini-bermula-dengan-demonstrasi.html

Dr. Know said...

Ni mazhab apa ni? Mazhab Hadhari ke?

armorphism said...

Protesting against oppression in order to support the truth and the oppressed is a legitimate act that may be obligatory if it will affect the process of decision-making among the oppressors. However, these protests and demonstrations do not warrant riots or destructive acts against public or private property. This is because such acts fall under the category of wrongdoing and cannot be justified by the negative attitudes of governments.


Explaining the legitimacy of demonstrating in Islamic Shari`ah, the prominent Saudi Scholar, Dr. Muhammad al-Ahmari states:

Holding demonstrations to support the truth and refuse injustice, oppression and corruption is a legitimate recurring act that Allah sanctions in condemning corruption as well as in celebrating feasts. Examples of this are the Prophet's demonstrating (with the companions) to bid farewell to the Muslim armies as well as to welcome them when they returned. Another example is during the conquest of Makkah. The Prophet (peace and blessings be upon him) commanded his uncle Al-`Abbas, to show Abu Sufyan the strength and power of the Muslim army as they were marching towards Makkah with their banners raised. By commanding them to do so, the Prophet wanted to convince Abu Sufyan that he could not confront the powerful army of Muslims.

If we cannot at least express our voice, display our position, and declare our sympathy with our oppressed fellows, as well as show our readiness to protect our invaded and occupied lands, then what does remain for us to do? Hence, explaining and supporting the truth as well as confronting and condemning injustice and corruption by all possible means is a legitimate recurring right in Islam.


Shedding more light on the issue and the Islamic guidelines for demonstrations, the following fatwa issued by the prominent Saudi Islamic lecturer and author, Sheikh Muhammad Saleh Al-Munajjid states:


There is nothing wrong with Muslims protesting against a certain act of oppression, condemning it, and asking for active reaction to stop it. Rather, Muslims should use all effective and Islamically acceptable means provided that these protests and demonstrations do not involve things that are forbidden in the Shari`ah. Some of those prohibited acts may include the following:

-Men and women going out without abiding by the Islamic code of dress.

-Shouting slogans that are improper.


-Doing wrong to others by such acts as blocking the road or preventing people from passing by.


-Using slanderous and insulting words that are not permitted in Shari`ah.


-Men and women mixing during the demonstration.


-Committing acts of aggression against the property of innocent people, such as destroying their shops or breaking their windows, or starting fires in public facilities, and other haram actions.

In stating that men and women should not mix during the demonstration, we mean that only indecent mixing is not allowed. Both men and women who join the rally should abide by the Islamic code of dress and women as well as men should not mix with one another in an indecent way. It is suggested that the people in the rally should line up in a way similar to that of prayer, i.e. men in the front and women in the back.

This is further clarified in the following fatwa issued by Dr. Ahmad Sa`id Hawwa, Professor of Islamic Jurisprudence and Its Principles at Jordanian Universities:


If a demonstration attracts a huge crowd, thus entails mixing between people, then it is not allowed for women to participate in it. However, if the rally is properly arranged that women are made to walk in separate lines or with men but without being jam-packed, then it is permissible.

What matters here is the amount of certainty about the consequences of the rally. For example, if there is a higher possibility that women will be subject to ill-treatment and the like from the police or other people, then they should not demonstrate. This is based on the juristic rule that states: removing hardship is given priority over accruing benefit. This must not be construed as preventing women from participating in the service of Islam, as there are many ways women can help in the cause of Allah.

Rafi said...

Ini cerita demostrasi menentang kerajan yg melaksanakan syariat Islam aku boleh terima.. boleh lah cerita syrik atau haram ..

Sekarang ni kita berhadapan dgn kerajaan yg tolak syariat Islam..

Kalau dah cara parlimen tak berkesan demonstrasi aman adalah sebahagian dari jln menyatakan protes atas salah laku kerajaan yg degil ..itukan lebih baik dari isytihar perang .

lagipun ia di buat secara aman .. tapi di sabotaj oleh pihak yg sengaja ingin menggagalkan tujuan demo secara aman agar nampak merusuh.ramai dah tahu itu.

Sekurang2nya kerajan akan tersentak dan faham rakyat bukan cakap main2 atau mudah di perbodohkan.Syabaz mereka yg berani menyatakan protes terang2an.

Abu Numair Nawawi B. Subandi said...

Tunjuk Perasaan terhadap pemerintah tetap tidak dibenarkan tidak kira sama ada pemerintah itu Islam mahupun kafir.

Sila rujuk artikel berkenaan adab ahlus sunnah terhadap pemerintah.

Abu Numair Nawawi B. Subandi said...

Sedangkan kelompok manusia yang melaung2kan demonstrasi itu sendiri masih bermasalah dalam berakidah dan bersekongkol dgn musuh2 Islam, tapi mulut2nya gencar bicara persoalan mahu menegakkan negara Islam! Bukankah itu suatu hal yang dangkal.

Farah said...

Aku benci jugak UMNO dan sokong PAS, tapi kenapa orang PAS susah sangat nak terima KEBENARAN !!!

Terimalah yang BENAR walaupun PAHIT

armorphism said...

mabuk ke apa ko ni nawawi?..kira satu level ngan Imam Nawawi le..jangan ikut pendapat Imam2 yg ko pilih je..

armorphism said...

Pensyariatan Demonstarasi Jalanan @ tunjuk perasaan

Orang2 Islam berhak untuk melakukan demonstrasi untuk meluahkan perasaan mereka dan menyatakan tuntutan yang dibenarkan oleh syarak. Ia bertujuan untuk menyampaikan kehendak mereka kepada pemegang tampuk pemerintahan dan pembuat undang2. Dengan mengadakan perhimpunan secara beramai2 ia lebih didengari oleh pihak yg berkuasa daripa suara individu. Semakin ramai yang berhimpun semakin memberi kesan kepada perlaksanaan tuntutan tersebut. Kerja2 secara berjemaah lebih berkesan dari kerja2 individu. Oleh itu Allah berfirman:

“Dan hendaklah kamu tolong menolong melakukan kebaikan dan ketakwaan.” (2: al-Maidah)

armorphism said...

Rasulullah saw bersabda:


المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا وشبك بين أصابعه


Maksudnya: “Orang-orang beriman seumpama bangunan, saling menguatkan sesame mereka..” Baginda menggenggam diantara jari jemarinya.


Dalil kepada pensyariatannya adalah sesungguhnya perkara ini adalah termasuk dalam perkara adat dan hal ehwal kehidupan manusia. Asal bagi perkara sebegini adalah harus. Kaedah menyatakan:


أن الأصل في الأشياء الإباحة


“Asal hukum bagi sesuatu perkara adalah harus.”


Ini adalah merangkumi perkara adat dan muamalat sekiranya tidak ada nas yang jelas yg mengharamkannya.

armorphism said...

Dalam hadis ada menyatakan;


"ما أحل الله في كتابه فهو حلال ، وما حرم فهو حرام ، وما سكت عنه فهو عفو ، فاقبلوا من الله عافيته ، فإن الله لم يكن لينسى شيئا. " وتلا (وما كان ربك نسيا) مريم: 64


Maksudnya: “ Apa2 yang Allah halalkan dalam Al-Quran adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram dan apa yang tidak disebut ia adalah kemaafan. Terimalah kemaafan daripada Allah. Sesungguhnya Allah tidak sesekali melupai sesuatu. Baginda membaca ayat “Dan tuhan kamu sesekali tidak lupa.” (Maryam : 64)


Diantara perkara yang menunjukkan kepada kaedah ini adalah hadis sahih yg diriwayatkan oleh saidina Jabir ra, beliau berkata:


"كنا نعزل والقرآن ينزل ، فلو كان شيء ينهى عنه لنهى عنه القرآن."


Maksudnya: “sesungguhnya kami melakukan azal (memancutkan air mani diluar rahim isteri) dalam keadaan wahyu masih diturunkan. Kalaulah ada sesuatu yang dilarang, nescaya Quran akan melarangnya.


Ini menunjukkan apa2 yang tidak disebut wahyu adalah tidak dilarang.

armorphism said...

Walaupun ia tidak wujud dizaman Nabi tetapi ia bukanlah bidah yg diharamkan. Dizaman selepas kewafatan Nabi saw banyak perkara2 yang baru tetapi ia bukan dianggap dalam bidah yang diharamkan. Contohnya Umar melaksanakan Kalendar hijrah dan mewujudkan penjara untk pesalah. Begitu juga sistem hisbah yg dilaksanakan di zaman selepas kewafatan Nabi saw.


Mengharamkan perkara ini kerana ia diambil dari orang kafir adalah ditolak. Ini kerana Rasulullah saw mengambil kubu dengan parit besar dari orang farsi. Baginda juga membuat cop kerna mengikut raja2 luar yg tidak menerima urusan rasmi melainkan dgn cop.

armorphism said...

Dua Kaedah penting yg berkait


1. Maslahah Mursalah


Perkara yang kebaikan yg tidak ada zaman Nabi, tidak ada zaman sahabat, diakui oleh syara’, tidak bertentangan dgn syara’.


Para ulama menggunakan kaedah secara langsung (mazhab Maliki) dan secara tidak langsung (mazahab2 yg lain) seperti yg disebut oleh Imam Qarafi.


Demonstrasi jalanan termasuk dari termasuk dalam maslahah mursalah.

armorphism said...

2. Lilwasail hukmul maqasid


Hukum perantara mengikut hukum tujuan. Ia seumpama tv. Ia adalah perkara yang baru. Jika digunakan untuk tujuan kebaikan maka diharuskan atau disunatkan. Jika digunakan untuk tujuan keburukan maka diharamkan.


Ini termasukalah hukum demonstrasi. Ia bergantung kepada tujuan diadakan demokrasi tersebut.

armorphism said...

Demonstrasi atau tunjuk perasaan dalam sunnah.


Ketika mana saidina Umar menyatakan keislamannya di ruma al-Arqam bin Abi al-Arqam beliau berkata: “Ya Rasulullah , bukankah kita berada di atas kebenaran samaada kita mati ataupun kita hidup?” Baginda menjawab “Demi tuhan yang mana diriku dalam kuasanya, sesungguhnya kamu berada dalam kebenaran samaada kamu mati atau pun kamu hidup.” Umar membalas “Sebab apa kita perlu bersembunyi. Demi tuhan yg membangkitkan kamu dgn kebenaran kamu mesti keluar di khalayak ramai.” Maka mereka mengeluarkan Nabi berada di dalam dua saf. Hamzah ada pada salah satu saf dan aku dalam satu saf lagi. Debu2 tanah yg halus menyelebungi perjalanan mereka. Mereka berjalan sehingga sampai masjid, aku melihat kaum quraisy dan ke arah hamzah. Orang quraisy ditimpa kesedihan yang mereka tidak pernah mereka alami sebelum itu. Dari pada peristiwa ini Rasul menamakan aku al-Faruq.


Hendaklah ia bebas dr perkara2 yg dilarang seperti percampuran lelaki perempuan tanpa batasan, merosakkan harta orang lain, meninggalkan kewajipan yang lain dan sebagainya.


Ini adalah pandangan Dr Yusuf Qardawi dalam laman webnya qaradawi.net.

Rujukan: Laman web rasmi Dr Yusuf qardawi.

ECO ONE said...

Assalamu'alaikum,
Izin Share...Jazakallahu Khairon